Sabtu, 28 Maret 2009
Hidup Ibarat Air
Hayati dan sikapilah hidup ini seperti Air yang mengalir, Bahwa segala sesuatunya sudah ada yang mengatur ykni Tuhan Yang Maha Mengatur Hidup. Kita ditakdirkan untuk berikhtiar dan berdoa, KeputusanNya merupakan yang Terbaik untuk kita jalani. Yakinlah, kelak kita akan menuju "Muara" yang sama................
Energi Sang Pemimpin
Pemimpin dapat menggunakan energi tersebut untuk mencapai tujuannya...
Pemimpin adalah lokomotif perubahan,dan tidak semua Pimpinan adalah Pemimpin..
Jadi, pemimpin merupakan amanah Tuhan, kelak akan diminta tanggung jawab olehNya..
Jadilah pemimpin yang diridhoi, hingga diijabah doanya.Namun bila sebaliknya sungguh pedih azabNya...
Pemimpin bukanlah lilin bernyala kelam, Tapi jadilah obor yang menyala terang..Dapat menakjubkan lingkungan sekitar obor yang kita pegang sesaat....
Yang dijaga agar tetap terang, yang kemudian kita serahkan kepada pemegang berikutnya..
Jadilah pemimpin yang berguna bagi dia, keluarga, dan orang lain...
Kamis, 26 Maret 2009
Demokrasi Liberal Yang Menyiksa
Tidak hanya pada tradisi marxisme, kritik terhadap demokrasi liberal juga datang dari kalangan pendukungnya sendiri. Ironi ini bermula dari teoretisi demokrasi Joseph Schumpeter yang menafsirkan demokrasi hanya terbatas sebagai mekanisme memilih pemimpin melalui pemilu yang kompetitif dan adil. Senada dengan itu, Samuel P. Huntington, sama naifnya dengan Schumpeter, juga menyanyikan nada yang seirama. Bagi Huntington, kualitas demokrasi diukur oleh pemilihan umum yang kompetitif, adil, jujur dan berkala dan partisipasi rakyat yang tinggi selama pemilu. Cita-cita mulia demokrasi direduksi menjadi sebatas hal yang prosedural dan teknis. Akibatnya, demokrasi hanya diwujudkan dalam pemilu. Suara rakyat dibutuhkan dan ditambang hanya ketika pemilu datang. Setelah itu, suara rakyat ditendang dan dikhianati; kebijakan publik tidak lagi memihak rakyat, harga-harga semakin mahal, penggusuran dimana-mana, BBM dinaikkan, pendidikan dan kesehatan dikomersialisasikan, kemiskinan dan pengangguran tetap saja berkembang biak. Demokrasi, dalam cita-cita yang sesungguhnya, perlahan-lahan mati.
Dalam konteks ini kritik Geoff Mulgan terhadap paradoks demokrasi sangat tepat dan jitu. Ada tiga hal pokok dalam kritiknya terhadap demokrasi. Pertama, demokrasi cenderung melahirkan oligarki dan teknokrasi. Bagaimana mungkin tuntutan rakyat banyak bisa diwakili dan digantikan oleh segelintir orang yang menilai politik sebagai karier untuk menambang keuntungan finansial?
Kedua, prinsip-prinsip demokrasi seperti keterbukaan, kebebasan dan kompetisi juga telah dibajak oleh kekuatan modal. Yang disebut keterbukaan, hanya berarti keterbukaan untuk berusaha bagi pemilik modal besar, kebebasan artinya kebebasan untuk berinvestasi bagi perusahaan multinasional, kompetisi dimaknai sebagai persaingan pasar bebas yang penuh tipu daya.
Ketiga, media yang mereduksi partisipasi rakyat. Kelihaian media mengemas opini publik membuat moralitas politik menjadi abu-abu, juga cenderung menggantikan partisipasi rakyat. Ini berujung pada semakin kecil dan terpinggirkannya ‘partisipasi langsung’ dan ‘kedaulatan langsung’ rakyat.
Tidak hanya itu, sesat pikir kaum demokrasi prosedural juga karena ia menyembunyikan fakta tentang negara dan kekuasaan. Negara, seperti kita semua maklum, adalah tempat akses dan relasi ekonomi, politik, hukum berlangsung. Karena itu, sistem demokrasi juga berhadapan dengan masalah ekonomi. Negara dan sistem demokrasi juga berhubungan dengan masalah bagaimana menciptakan kesejahteraan, bagaimana menjalankan dan mengatur finansial sebuah negara. Karena itu negara membutuhkan sebuah persekutuan yang taktis dan cepat. Karena hanya model ekonomi kapitalisme yang tersedia - yang bertumpu pada kekuatan modal besar -, maka demokrasi membutuhkan kapitalisme, begitu juga sebaliknya. Dari sini, persekutuan najis itu mulai tercipta.
Di ujung jalan, tampaknya kapitalismelah yang berkuasa. Atas nama kemajuan dan perdagangan bebas, ia mulai mengangkangi negara. Atas nama pertumbuhan ekonomi, ia mulai menyiasati demokrasi. Lalu muncullah makhluk lama dengan baju yang baru: neoliberalisme. Sebuah makhluk yang mengendap-endap muncul, lalu menjalankan taktik “silent takeover”. Istilah terakhir ini dipinjam dari Noreena Heertz, artinya kurang lebih sebuah penjajahan yang terselubung.
Senin, 16 Maret 2009
Netralitas TNI dalam pemilu
Partai Golkar menilai demokrasi Indonesia tidak boleh mendiskriminasi hak politik anggota TNI/Polri dalam pemilihan umum. Golkar meminta di masa datang hak memilih anggota TNI/Polri harus dipulihkan.
"TNI/Polri juga adalah warga negara yang memiliki hak politik. Tidak tepat jika mencabut hak memilih TNI/Polri," ujar Ketua DPP Partai Golkar Theo L Sambuaga dalam Debat Politik bertajuk "Platform Partai Politik di Bidang Keamanan Nasional" di Hotel Santika, Jalan Aipda KS Tubun No 7, Slipi, Jakarta, Selasa (17/3/2009).
Theo menilai, TNI/Polri harus disamakan statusnya dengan pegawai negeri sipil (PNS). Dalam pemilu, PNS diberikan hak memilih namun untuk bisa dipilih, harus mundur dari jabatannya. Bagi Theo, hal ini harus direalisasikan di masa datang.--sumber bisa dibaca di okezone.com
Klo tentara kita semakin hebat dan profesional, kita juga kan yang bangga?
Sabtu, 14 Maret 2009
Jumat, 13 Maret 2009
"Banjir Jakarta"..suatu kewajiban kah?
Banjir DKI Jakarta dan sekitarnya mulai surut. Meski demikian, ancaman banjir masih akan terjadi. Selepas banjir, kerugian yang diderita warga Jakarta dan sekitarnya teramat besar.Hingga kini, rumah-rumah pengungsian masih ramai penghuni.Sebagian mereka, secara perlahan, mulai membersihkan rumah masing-masing.Bahkan, warga bergotong-royong memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan, hingga kebutuhan medis.Fakta ini menunjuk bahwa pemerintah kelabakan.Hal ini nampak dari penanganan dan pengelolaan bencana yang masih berciri reaksioner.Tiada sistem pengelolaan bencana yang telah disiapkan sedari awal. Padahal, banjir sering kali diklaim sebagai peristiwa tahunan (atau siklus lima tahunan).
Surutnya air mengisyaratkan episode recovery.Episode ini mencakup upaya deteksi kerugian dan upaya pemulihannya.Sayangnya, kebijakan pemerintah pasca banjir masih bercokol pada pembangunan infrastruktur semata. Persoalan lain, seperti tumpukan sampah dan penyakit (leptospirosis, diare, demam berdarah) yang diderita warga pasca banjir, telantar tanpa perhatian yang baik.
Ketika penumpukan volume sampah pasca banjir meningkat, baik di pemukiman penduduk maupun di sepanjang jalan, pemerintah menginstruksikan seluruh potensi yang dimilikinya dan mengajak warga untuk melakukan kerja bakti.Tepatnya, pada Sabtu-Minggu (10-11/02). Lebih dari itu, TPA Bantar Gebang seluas 2,3 hektar telah dipersiapkan untuk menampung volume sampah pasca banjir. Tanpa koordinasi yang baik, pengelolaan sampah rentan konflik.Hal ini terjadi di kawasan hijau Jonggol.Sejauh ini, daerah ini tidak diperuntukkan untuk menampung sampah.Tetapi, oknum-oknum birokrat Pemprov DKI Jakarta secara sengaja menaruh sampah di kawasan itu.
Sejarah sampah DKI Jakarta berujar bahwa tidak kurang dari 6500 ton sampah/hari diproduksi oleh warga (perusahaan, rumah tangga, dll.) Jakarta. Tentu, hal ini bukan pekerjaan ringan.Meski demikian, tiadanya kesesuaian antara regulasi dan regulator, konflik seputar sampah masih akan terjadi. Tragedi TPST Bojong, Bogor (24 November 2003), adalah bukti.Tak cukup itu, longsornya sampah di TPA Bantar Gebang, Bekasi, juga menjadi potret buruknya pengelolaan sampah di DKI Jakarta.Anehnya, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak memiliki strategi pengelolaan sampah pra dan pasca-banjir serta penanganan medis yang terkoordinasi antar-lembaga (Bakornas, Satkorlak, dsb). Hal ini dapat dilihat dari review masterplan pengelolaan sampah DKI Jakarta hingga tahun 2015.
Dari bencana banjir DKI Jakarta (2007), setidaknya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dapat memulai upaya mengontrol dan mengelola sampah.Upaya awal dapat ditempuh melalui perampungan RUU Pengelolaan Sampah.Pasalnya, payung hukum ini dapat dijadikan sebagai pijakan kolektif (Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan warganya) untuk mengontrol dan mengelola sampah yang diproduksinya.Harapannya, penanganan tanggap darurat sebagai langkah emergency response maupun langkah recovery dapat segera direalisasikan guna meminimalisir buruknya sistem pengelolaan sampah yang sudah berlangsung.
Di samping itu, payung hukum (RUU Pengelolaan Sampah) ini dapat dijadikan sebagai wujud struktur kelembagaan yang bertanggung jawab terhadap tumpukan sampah dan sistem pengelolaannya.Tentu, tak sebatas sampah pasca banjir, melainkan sampah harian di luar musim penghujan.Di luar itu, payung hukum ini dapat mengatur keterlibatan warga (produsen maupun konsumen) dalam mengurus sampah Jakarta.Sejauh ini, hanya Dinas Kebersihan Pemprov DKI Jakarta yang bertugas.Sayangnya, kinerja mereka tak maksimal.
Sampah adalah persoalan warga DKI Jakarta, bukan permasalahan warga Bantar Gebang, Bekasi, dan Bojong, Bogor.Problem sampah adalah problem politik, hukum, dan budaya. Keseriusan pemerintah dalam menyelesaikan carut-marutnya penanganan sampah menjadi palang pintu bagi perubahan kultur warga, melalui penegakan aspek legal (UU Pengelolaan Sampah) secara tegas dan tak tebang pilih.
Momentum ini dapat dijadikan warga DKI Jakarta sebagai pertimbangan politik jelang pemilihan kepala daerahnya.Pembangunan adalah hal niscaya. Tanpa keikutsertaan pertimbangan (keberlanjutan dan keseimbangan) ekologis, pembangunan menjadi deret arus bencana ekologis babak berikutnya, yang tak jarang menelan korban jiwa. Ingat, mengelola sampah sama dengan mengelola gaya hidup kita!
Refleksi Reformasi TNI
Dengan dalih dan propaganda penertiban keamanan yang sedemikian hebatnya,seolah telah berhasil menutup penglihatan dan pendengaran para petinggi oraganisasi perdamaian internasional yang akhirnya mendisfungsionalkan perannya sebagai badan pemelihara perdamaian hingga terbukalah banyak akses bagi mereka untuk menjalankan misi rahasianya.Tidak ada regulasi yang jelas dalam persoalan ini.
TNI sebagai barikade terdepan untuk penegakkan kedaulatan RI (yang merupakan harga mati) dituntut untuk selalu siap siaga serta selalu menjaga profesionalismenya. Untuk mencapai hal itu latian secara prosedurial (disesuaikan dengan masing-maing matra) harus terus dilakukan secara kontinu. Selain latihan yang dilaksanakan dalam masing-masing satuan, baik ditingkat AD , AL , maupun AU perlu dilakukan secara berkala apa yang dinamakan Latgab atau Latihan gabungan.Latgab TNI ini dilaksanakan salah satunya sebagai sarana TNI membuktikan profesionalismenya. Latgab TNI merupakan bentuk laporan pertanggungjawaban profesionalisme TNI kepada rakyat dan negara setelah melakukan reformasi internal selama 10 tahun, bahwa TNI berhenti berpolitik praktis dan kembali kepada tugas, peran dan fungsinya.
Mengapa? Karena menghadapi tantangan keadaan dan perkembangan dinamika global, bisa saja terjadi pertentangan terhadap kepentingan nasional yang pada akhirnya mengancam kedaulatan bangsa dan negara. TNI dalam hal ini dituntut harus siap mengemban tugas berperang. Sudah saatnya memang bila TNI kembali kepada jatidirinya yang hakiki.
Untuk informasi lebih lengkapnya mengenai tentara kita ini dapat di klik disini