Selasa, 15 Desember 2009

Kredit modal bagi UKM,baiknya kemana?

Sumber utama pembiayaan investasi di negara berkembang termasuk di Indonesia umumnya masih didominasi oleh penyaluran kredit perbankan sehingga wajar bila banyak pihak menuding lambatnya penyaluran kredit perbankan di Indonesia setelah krisis 1997 merupakan salah satu penyebab lambatnya pemulihan ekonomi Indonesia dibandingkan dengan negara Asia lainnya yang terkena krisis. Membaiknya kondisi makroekonomi dalam beberapa tahun terakhir yang tercermin dari terkendalinya laju inflasi, stabilnya nilai tukar, dan turunnya suku bunga, namun kredit yang disalurkan perbankan belum cukup menjadi mesin pendorong pertumbuhan ekonomi untuk kembali pada level sebelum krisis. Ini berarti bahwa fungsi intermediasi perbankan di Indonesia masih belum pulih.

Peran UKM dalam perekonomian nasional dinilai sangat strategis. Sektor ini juga dianggap sebagai penyelamat krisis yang dihadapi Indonesia karena fleksibilitasnya dalam menyiasati perubahan dan kemampuannya menyerap tenaga kerja sehingga mampu mengurangi tingkat pengangguran dan kemiskinan.

Namun tak dipungkiri bahwa permasalahan utama UKM adalah dalm urusan permodalan dan pemasaran. Di bidang permodalan, terdapat 51,09% UKM yang mengalami kesulitan usaha karena kurang modal (BPS, 2003). Untuk kebutuhan pendanaan, hanya 17,50% UKM yang memanfaatkan kredit bank, sisanya sebanyak 82,50% masih tergantung pada informal lender karena alasan prosedur atau ketidakmampuan memenuhi persyaratan bank (Media BPR, Nov 2006).

Kita sama-sama mengetahui bahwa bank bukanlah satu-satunya lembaga keuangan yang mampu memberikan pinjaman modal bagi UKM, masih ada lembaga lain yang juga bergerak dalam ranah keuangan yang sekiranya dapat meberikan suatu alternatif baru bagi pengelolaan permodalan UKM, diantara yaitu ” Pegadaian”. Pertanyaan yang muncul berikutnya yaitu lembaga keuangan mana yang mampu memberikan solusi terbaik dalam pengadaan modal bagi UKM? Terlebih lagi saat ini sudah berkembang sistem operasional syariah baik itu pada bank, maupun pada pegadaian, yaitu yang mana pada operasionalnya berpegang pada prinsip-prinsip islam.

Ketentuan yang ada pada tiap bank ataupun lembaga keuangan lainnya tentu berbeda, termasuk dalam jasa peminjaman modal. Jika pada bank konvensional (non syariah) salah satu pendapatan bank pada prinsipnya yaitu uang bank yang dipinjamkan kepada nasabah (dalam hal ini UKM) akan dikembalikan pada tempo tertentu di masa mendatang dan UKM itu berkewajiban membayar ”kontra prestasi” berupa bunga yang presentasenya telah disepakati bersama. Pada bank syariah, hal semacam ini tidak dibenarkan karena mengandung riba. Sistem yang diterapkan yaitu sistem bagi hasil atau diistilahkan sebagai ”Al-Musyarakah”, dimana masing-masing pihak berhak atas segala keuntungan dan bertanggung jawab atas segala kerugian yang terjadi sesuai dengan penyertaan masing-masing. Dan bank tidak hanya berperan sebagai penyedia dana, tetapi juga sebagai partner atau mitra usaha bagi UKM yang membantu dan memantau jalannya usaha, seperti penyusunan laporan keuangan yang rapih dan sistem informasi lainnya yang tentu manfaatnya akan sangat besar bagi keberlangsungan usaha. Jadi bukan hubungan antara kreditur dan debitur seperti halnya yang terjadi pada bank konvensional.

Jika kita menengok pada sistem operasional ”pegadaian” khususnya konvensional dalam jasa penyediaan dana, tidak jauh berbeda dengan bank konvensional, karena pada prinsipnya nasabah/UKM selain harus membayar pinjaman pada tempo yang sudah ditentukan diharuskan juga membayar bunga tiap bulannya. Mungkin perbedaannya terdapat dalam hal pelayanan, pegadaian pada prinsipnya tidak mebutuhkan berbagai jenis persyaratan yang rumit sebagaimana halnya dengan perbankan, salah satunya seperti lamanya usaha itu telah berjalan. Namun tentu saja pada perbankan maupun pegadaian syarat utama ketika suatu UKM ingin meminjam modal tentu harus disesuaikan dengan jaminan yang mampu diberikan.

Untuk UKM kisaran dana yang diperbolehkan atau mungkin digulirkan oleh bank untuk usaha mikro umumnya antara 5-50 juta rupiah (Tiap bank berbeda), tergantung dari jaminan yang disertakan dan tergantung dari skala usaha yang ada. Jika pada pegadaian berapapun kebutuhan modal yang dibutuhkan suatu UKM, selama mampu memberikan suatu jaminan yang sesuai dengan ketentuan, maka dana akan dikucurkan. Dengan kondisi demikian, nampaknya para pelaku UKM kiranya akan lebih baik mencoba layanan jasa untuk pengadaan modal pada ”perbankan syariah”. Walau persyaratannya sedikit rumit bila dibandingkan dengan pegadaian, namun tenggat waktu untuk pelunasan pinjaman cukup lama (umumnya 3 taunan), dan tetap menjunjung prinsip-prinsip islam dalam operasionalnya. Hal ini akan sangat membantu bagi pengembangan usaha kedepan.