Minggu, 31 Mei 2009

Kontingen Garuda Terima Penghargaan dari PBB


LEBANON - Satuan Tugas (Satgas) Kontingen Garuda (Konga) XXVI-A/Unifil (United Nations Interim Force in Libanon) menerima Penghargaan dari Force Commander (FC) UNIFIL Major General Claudio Graziano.

Hal ini diungkapkan Komandan Force Headquarters Support Unit (FHQSU) UNIFIL, Konga XXVI-A Kolonel (Mar) Saud Tambatua dalam acara Jam Komandan kepada seluruh personel Konga XXVI-A di Sudirman Camp Lebanon, Selasa (3/3/2009).

Saud mengatakan, Surat Penghargaan tersebut merupakan ucapan terima kasih yang disampaikan oleh Force Commander UNIFIL atas kerja sama yang telah dijalin sehingga seluruh UNIFIL khususnya headquater merasakan kemajuan dan personel di Headquater UNIFIL yang menyampaikan rasa puas atas apa yang sudah dikerjakan oleh Kontingen Garuda XXVI-A di UNIFIL.

"Surat penghargaan dari Force Commander yang disampaikan secara langsung kepada Kontingen Garuda XXVI-A ini merupakan hasil kerja keras seluruh prajurit Kontingen Garuda XXVI-A, khususnya dalam tiga bulan pertama yang telah melakukan berbagai upaya dengan bersusah payah dan bekerja keras demi berkibarnya Merah Putih di kancah internasional," ungkapnya dalam rilis yang diterima okezone.

Acara penyampaian penghargaan tersebut dihadiri oleh 145 personel yang terdiri dari pasukan elit TNI seperti Kopassus, Denjaka, Kopaska dan Denbravo dan 55 prajurit lainnya yang menduduki jabatan di Departement Logistic dan Departement Administration.

Pemberdayaan Rakyat di era Otonomi Daerah


Krisis moneter yang mengguncang iklim usaha (ekonomi) nasional beberapa tahun terakhir semakin menyadarkan banyak pihak akan pentingnya pemberdayaan ekonomi rakyat. Sebuah paradigma pembangunan yang tidak memutlakkan dasar pertumbuhan pada peran penguasa-penguasa ekonomi, melainkan pada semua pihak terutama pada peran ekonomi rakyat.

Keputusan politik pemberlakuan Otonomi Daerah yang dimulai sejak tanggal 1 Januari 2001, telah membawa implikasi yang luas dan serius. Otonomi Daerah merupakan fenomena politis yang menjadikan penyelenggaraan Pemerintahan yang sentralistik birokratis ke arah desentralistik partisipatoris. Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah telah melahirkan paradigma baru dalam pelaksanaan otonomi daerah, yang meletakkan otonomi penuh, luas dan bertanggung jawab pada Daerah Kabupaten dan Kota. Perubahan ini dimaksudkan untuk meningkatkan efektivitas pelayanan masyarakat, menumbuhkan semangat demokratisasi dan pelaksanaan pembangunan daerah secara berkelanjutan, dan lebih jauh diharapkan akan menjamin tercapainya keseimbangan kewenangan dan tanggung jawab antara pusat dan daerah.

Lahirnya kedua UU ini juga akan memberikan implikasi positif bagi dinamika aspirasi masyarakat setempat. Kebijakan daerah tidak lagi bersifat “given” dan “uniform” (selalu menerima dan seragam) dari Pemerintah Pusat, namun justru Pemerintah Daerah yang mesti mengambil inisiatif dalam merumuskan kebijakan daerah yang sesuai dengan aspirasi, potensi dan sosio-kultural masyarakat setempat. UU ini juga membuka jalan bagi terselenggaranya pemerintahan yang baik (good governance) di satu pihak dan pemberdayaan ekonomi rakyat di pihak lain. Karena dengan otonomi, Pemerintahan Kabupaten/Kota memiliki kewenangan yang memadai untuk mengembangkan program-program pembangunan berbasis masyarakat (ekonomi rakyat). Jika selama ini program-program pemberdayaan ekonomi rakyat (IDT, misalnya) didisain dari pusat, tanpa daerah memiliki kewenangan untuk “berkreasi”, sekaranglah saatnya pemerintah daerah kabupaten/kota menunjukkan kemampuannya. Tantangan, bahwa daerah mampu mendisain dan melaksanakan program yang sesuai dengan kondisi lokal patut disikapi dengan kepercayaan diri dan tanggung jawab penuh.

Pertanyaannya, apa yang mesti dilakukan oleh pemerintah daerah dalam memberdayakan ekonomi rakyat di era otonomi daerah ?

Jika disepakati bahwa konsep pemberdayaan didasarkan pada nilai-nilai tertentu yang memihak pada subyek yaitu masyarakat akar rumput, wong cilik, komunitas paling kecil atau masyarakat yang terorganisasi secara teritorial, maka pemberdayaan (ekonomi rakyat) tidak bisa hanya dikonsepkan dari atas (sentralistis). Pemberdayaan menekankan adanya otonomi komunitas dalam pengambilan keputusan, kemandirian dan keswadayaan lokal, demokrasi dan belajar dari pengalaman sejarah. Esensinya ada pada partisipasi masyarakat dalam setiap tahapan perubahan masyarakatnya. Partisipasi mampu terwujud jika terdapat pranata sosial di tingkat komunitas yang mampu menampung aspirasi masyarakat dalam pembangunan. Tanpa adanya pranata sosial dan politik di tingkat komunitas, kelurahan, kecamatan dan kabupaten yang mampu memberikan rakyat akses ke pengambilan keputusan, yang akan diuntungkan hanyalah kalangan bisnis dan kalangan menengah pedesaan serta perkotaan. Kebijakan top down yang didisain untuk menolong rakyat tidak bisa dikatakan mempromosikan perekonomian rakyat karena tidak ada jaminan bahwa rakyatlah yang akan menikmati keuntungannya. Untuk mewujudkan ekonomi rakyat berdaya, yang pertama-tama harus dilakukan adalah memfasilitasi terbentuknya pranata sosial yang memungkinkan rakyat ikut serta dalam pengambilan keputusan di tingkat kelurahan, kecamatan, dan kabupaten. Apabila ada pranata sosial yang memungkinkan rakyat untuk merumuskan kebutuhan pembangunan mereka dan memetakan potensi serta hambatan yang mereka hadapi dalam rangka memenuhi kebutuhan pembangunan mereka, pemerataan kesempatan berusaha akan dengan sendirinya mulai tercipta.

Yang menjadi masalah, struktur kelembagaan politik dari tingkat kabupaten sampai ke tingkat komunitas yang diciptakan oleh Orde Baru adalah lebih merupakan alat kontrol birokrasi terhadap masyarakat. Tidak mungkin ekonomi kerakyatan diwujudkan tanpa restrukturisasi kelembagaan politik di tingkat kelurahan dan kecamatan. Dengan demikian persoalan pengembangan ekonomi rakyat juga tidak terlepas dari kelembagaan politik di tingkat kelurahan dan kecamatan. Untuk itu mesti tercipta iklim politik yang kondusif bagi pengembangan ekonomi rakyat. Di tingkat desa dan kecamatan bisa dimulai dengan pendemokratisasian pranata sosial dan politik, agar institusi seperti LKMD (di tingkat kelurahan) dan UDKP (di tingkat kecamatan), benar-benar mewakili kepentingan rakyat. Kalau tidak, perlu difasilitasi pembentukan lembaga baru yang inklusif dan partisipatoris di tingkat kelurahan dan kecamatan untuk menjadi patner dan penekan birokrasi desa dan kecamatan agar memenuhi kebutuhan pembangunan rakyat.

Tanpa adanya restrukturisasi kelembagaan di tingkat kelurahan dan kecamatan, maka pemberdayaan ekonomi rakyat sulit terwujud. Contohnya saja, ketika kelembagaan politik yang ada diserahi untuk mengambil keputusan mengenai implementasi program JPS, banyak sekali jatah bantuan yang tidak mencapai target rakyat miskin. Masalahnya karena memang akses informasi dan kedekatan pada kekuasaan politik di desa justru membuat kalangan kelas menengahnya yang menikmati bantuan. Bagaimana mewujudkan hal tersebut di era perubahan ini ? Jika boleh disebut sebagai masa transisi dari era sentralistis ke era otonomi, yang terjadi adalah “kegelisahan” sebagai akibat belum dipahaminya konsep otonomi secara utuh.

Hasil kunjungan di Kota Yogyakarta dalam rangka kajian kebijakan tentang penanggulangan kemiskinan mendapati suatu kelompok masyarakat yang tergabung dalam BKM yang setidaknya dalam 2 tahun terakhir sukses mengelola dana lewat proyek P2KP. Kunci sukses kelompok ini ada pada pengelolaanya yang mandiri terlepas dari unsur pemerintahan, selain peran pengelola (pengurus) sangat penting. Sukses dalam arti bagaimana kelembagaan ini mampu menjangkau masyarakat miskin sesuai kriteria yang mereka tetapkan, di sisi lain dana yang dikelola mampu berkembang. Era otonomi juga telah membawa sejumlah “perubahan” mendasar di aras desa dan kelurahan, khususnya dalam menyikapi program. Perubahan itu terlihat dari tata hubungan antara elite desa (Kades, Lurah, LKMD, LMD, BPD, dsb) dengan unsur-unsur masyarakat. Kasus suatu BKM di Kelurahan Klitren, Kecamatan Gondokusuman, Kota Yogyakarta merupakan salah satu contoh.

Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) Bina Klitren Mandiri, dibentuk pada tanggal 12 Januari 2002 bertempat di Kantor Kelurahan Klitren. Pembentukan BKM ini terkait dengan program pemerintah yang berjudul Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan, disingkat P2KP. BKM dibentuk melalui suatu pertemuan yang dihadiri oleh Lurah Klitren, LKMD beserta pengurus, Ketua-ketua RW, dan wakil-wakil warga (tokoh). Melalui pertemuan tersebut akhirnya terpilih 9 orang sebagai pengurus BKM. Dalam perjalanannya 4 orang kemudian mengundurkan diri karena kesibukan masing-masing yang kemudian digantikan oleh 3 orang, sehingga sampai sekarang pengurus BKM berjumlah 8 orang. Yang menarik untuk disimak adalah pengelolaan BKM ini mandiri terlepas dari unsur-unsur pemerintahan kelurahan. Bahkan dalam struktur organisasinya tergambarkan bahwa kedudukan Lurah, LKMD, dan Ketua BKM adalah sejajar. Namun dalam kerjanya nampak saling mendukung. Misalnya dalam hal pinjaman kepada anggota kelompok, BKM secara rutin memberikan laporan tertulis tentang posisi pinjaman anggota, siapa-siapa saja yang masih menunggak, serta siapa saja yang pinjamannya lancar. Laporan ini telah dimanfaatkan oleh pihak kelurahan dalam melayani kebutuhan penduduk. Seorang penduduk yang minta pelayanan KTP, tetapi ternyata dari laporan BKM memiliki tunggakan pinjaman, bisa ditegur dan diminta melunasi tunggakannya. Ini menarik mengingat BKM adalah unsur masyarakat, sedangkan kelurahan adalah unsur pemerintah, hal yang sama biasa terjadi untuk “memaksa” orang membayar PBB.

Apa kesimpulan dari sepenggal kasus ini ? Jelas bahwa ekonomi rakyat memerlukan perhatian, dukungan, dan kepercayaan dari pemerintah agar mampu berkembang sesuai dengan potensi yang dimiliki. Mungkin tidak selalu “uang” yang diperlukan, dan kalaupun harus dalam bentuk “uang” kebutuhan mereka jelas berbeda-beda. Hal ini yang penting mendapatkan perhatian. Untuk mengetahui kebutuhan yang berbeda dan beraneka ragam tersebut, mereka mutlak dilibatkan dalam setiap proses pengambilan keputusan. Selain menjamin kesesuaian “program” dengan “kebutuhan”, pelibatan masyarakat juga merupakan wujud dari pemberdayaan. Mereka diberi peluang, diberi akses untuk mampu memilih dan mengambil keputusan untuk dirinya sendiri. Secara formal pemerintah pusat telah memberi peluang melalui otonomi (UU 22/1999), tinggal bagaimana pemerintah daerah mewujudkan hal ini. Semoga.

Fenomena beras dan Diversifikasi Pangan

Harga beras yang melambung membuat rakyat kian menderita dan bisa memunculkan ketidakstabilan di segala bidang. Inikah saatnya diversifikasi pangan? Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) menunjukkan, konsumsi beras untuk masyarakat berpenghasilan rendah cenderung naik, sekitar 120-130 kg per kapita per tahun. Sebaliknya, mereka yang masuk tingkat ekonomi tinggi, hanya mengonsumsi beras 75-90 kg per kapita per tahun. Kelompok ekonomi tinggi umumnya telah mengurangi konsumsi beras karena telah mengalami pergeseran pola makan. Sarapan tak lagi harus nasi, tetapi bisa roti atau sereal. Diversifikasi pangan pun sudah dimulai.

Diversifikasi pangan

Namun, secara keseluruhan, mengapa diversifikasi pangan tidak berhasil? Pertama, beras mempunyai citra superior sehingga preferensi atas beras mengungguli jagung, singkong, sagu, dan lainnya. Kedua, ketersediaan beras sepanjang waktu di berbagai wilayah, lebih baik dibanding ketersediaan komoditas pangan lainnya. Ketiga, teknologi pengolahan beras menjadi nasi amat simpel, menghasilkan citarasa netral yang tidak membosankan. Kini, diversifikasi pangan kini menjadi momentum yang tepat. Pola konsumsi pangan yang bermutu gizi seimbang mensyaratkan perlunya diversifikasi pangan dalam menu sehari-hari. Pangan yang beragam amat penting karena tidak ada satu jenis pangan yang dapat menyediakan gizi bagi seseorang secara lengkap. Dengan konsumsi yang beragam, kekurangan zat gizi dari satu jenis pangan akan dilengkapi dari pangan lain.

Masyarakat Gunung Kidul sudah lama tidak bergantung pada beras. Mereka mengonsumsi tiwul yang terbuat dari singkong sebagai makanan pokok. Ini dilakukan akibat kelangkaan beras dan kemiskinan. Pada awal tahun 1960-an keadaan kian parah karena serangan hama tikus sehingga kasus HO (honger oedem) merebak akibat kelaparan. Bagaimana kehidupan di Gunung Kidul kini? Sudah membaik, meski kemiskinan masih harus diatasi. Selain kemiskinan, masyarakat Gunung Kidul juga akrab dengan kekeringan. Pada bulan-bulan panen padi dan selama masyarakat masih mempunyai persediaan beras, mereka makan nasi. Ketika beras menipis dan memasuki musim kemarau, penduduk Gunung Kidul mulai menyiapkan gaplek yang harganya Rp 400 per kg. Gaplek yang berasal dari singkong ini diolah menjadi tiwul, dicampur nasi, menjadi sega uleng. Agar gaplek terhindar dari serangan kutu, masyarakat membuat gogik atau tiwul yang dikeringkan dan tahan berbulan-bulan.

Dua strategi

Kepuasan makan tiwul timbul karena rasa kenyangnya bertahan lama dibanding makan nasi. Sebagian masyarakat ada yang beranggapan makan tiwul dapat memperpanjang umur. Apakah rakyat Gunung Kidul sedang mempraktikkan diversifikasi pangan pokok? Apakah mereka menanggapi seruan pemerintah tentang perlunya mengurangi tekanan terhadap beras melalui penganekaragaman konsumsi? Jika penduduk Gunung Kidul berdiversifikasi pangan pokok, jelas hal itu dilakukan bukan dalam rangka menyukseskan program pemerintah. Mereka mengonsumsi campuran nasi dan tiwul karena keadaan. Kemiskinan dan tantangan alam telah menggembleng rakyat Gunung Kidul untuk mau makan tiwul dan mengurangi konsumsi beras.

Maka, ada dua strategi ekstrem yang dapat dilakukan untuk mengurangi konsumsi beras. Pertama, tingkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pengentasan kemiskinan, membuka lapangan kerja, perbaikan derajat kesehatan dan pendidikan. Kedua, biarkan masyarakat tetap miskin, biarkan harga beras naik sehingga mereka tidak mampu membeli beras dan mau tidak mau makan umbi-umbian sebagai makanan pokok. Jika memilih strategi pertama, ini wujud adanya perhatian pemerintah terhadap kualitas dan perbaikan nasib bangsa. Namun, bila tidak berbuat apa-apa berarti memilih strategi kedua. Isu kesejahteraan masyarakat selayaknya menjadi perhatian semua. Jumlah penduduk miskin di Indonesia justru bertambah, bukan berkurang. Kini penting bagi masyarakat untuk mencatat dan menagih janji para pemimpin yang katanya dulu akan berjuang memakmurkan rakyat.

sumber : http://www.kompas. com/kompas- cetak/0612/ 21/opini/ 3190395.htm

Bioetanol sebagai energi alternatif yang kompetitif

Peranan BBM masih 63% dalam pemakaian energi final nasional-2003. Indonesia yang dulu menjadi negara pengekspor minyak, sejak tahun 2004 berubah menjadi negara pengimpor minyak. Pada tahun 2004 Indonesia mengimpor minyak 487 ribu barel/hari. Sementara itu harga minyak dunia terus mengalami peningkatan harga. Hal ini jelas akan menggoyang perekonomian nasional. Struktur APBN masih bergantung pada penerimaan migas dan subsidi BBM. Naiknya harga minyak dunia mengakibatkan membengkaknya subsidi BBM. Kebijakan pengurangan subsidi BBM yang diterapkan pemerintah akhirnya berakibat pada meningkatnya biaya-biaya perekonomian masyarakat.

Maka, harus ada upaya-upaya strategis untuk mengurangi ketergantungan pada minyak bumi. Hal ini sudah cukup mendesak mengingat cadangan minyak nasional hanya sampai 18 tahun (lihat tabel) lagi, sementara konsumsi dalam negeri terus meningkat. Diprediksikan pada tahun 2010, jumlah import BBM akan meningkat menjadi sekitar 60% – 70% dari kebutuhan BBM dalam negeri. Fakta ini akan menjadikan Indonesia menjadi Pengimpor BBM terbesar di Asia. Penggunaan bahan bakar alternatif harus segera dilakukan terutama yang berbentuk cair, karena masyarakat sudah sangat familiar dengan bahan bakar cair, BBM. Salah satunya adalah Bioetanol. Bioetanol dengan karakteristiknya dapat mensubtitusi bensin. Indonesia perlu mengembangkan bioetanol karena :

1. Konsumsi energi meningkat

2. Bahan bakar fosil akan habis

3. Devisa (impor bbm)

4. Potensi penggunaan biofuel

5. protokol Kyoto

6. Potensi lahan

7. Potensi sumber daya manusia (petani)

BIOETANOL, ENERGI ALTERNATIF YANG KOMPETITIF

Louis Pasteur untuk pertama kalinya mengenalkan metode fermentasi. Dia melakukakan fermentasi gula menggunakan mikroorganisme. Dia telah membuka cakrawala baru memproduksi senyawa kimia dengan bantuan mikroorganisme. Sehingga kita tidak harus capai-capai melakukan sintesis senyawa kimia, biarkan saja mikoorganisme yang bekerja memproduksinya.

Pada tahun 1815, Gay-Lussac memformulasikan konversi glukosa menjadi etanol dan karbondioksida. Formulanya sebagai berikut :

C6H12O6 2C2H5OH + 2CO2

Dalam perkembangannya produksi alkohol yang paling banyak digunakan adalah metode fermentasi dan distilasi.

Mikroorganisme yang digunakan untuk fermentasi alkohol :

Bakteri : Clostridium acetobutylicum, Klebsiella pnemoniae, Leuconoctoc

mesenteroides, Sarcina ventriculi, Zymomonas mobilis, dll.

Fungi : Aspergillus oryzae, Endomyces lactis, Kloeckera sp., Kluyreromyces fragilis,

Mucor sp., Neurospora crassa, Rhizopus sp., Saccharomyces beticus,

S. cerevisiae, S.ellipsoideus, S. oviformis, S. saki, Torula sp., dll

Baru-baru ini teknologi DNA rekombinan telah membantu penggunaan mikroorganisme dalam proses industri. Setelah USA dan Brazil, India adalah negara terbesar ketiga dalam memproduksi bioetanol.

Selama perang dunia II campuran etanol dan bensin telah digunakan di Eropa. Namun, setelah perang berakhir bioetanol kalah bersaing dengan bensin yang harganya lebih murah. Penggunaan campuran alkohol dan bensin digunakan lagi pada tahun 1970-an akibat embargo minyak negara-negara Arab terhadap negara-negara barat pada tahun 1973 yang menyebabkan krisis minyak. Pada tahun 1985 brazil mengeluarkan program pencampuran 20% bioetanol dengan bensin untuk menghemat 40% konsumsi bensin. Negara ini telah memasarkan 1 juta mobil dengan bahan bakar 100% bioetanol.

Kelebihan-kelebihan bioetanol dibandingkan bensin:

  1. Bioetanol aman digunakan sebagai bahan bakar, titik nyala etanol tiga kali lebih tinggi dibandingkan bensin.
  2. Emisi hidokarbon lebih sedikit

Kekurangan-kekurangan bioetanol dibandingkan bensin:

  1. Mesin dingin lebih sulit melakukan starter
  2. Bioetanol bereaksi dengan logam seperti magnesium dan aluminium.

Sebagai alternatif digunakan campuran bioetanol dengan bensin. Sebelum dicampur, bioetanol harus dimurnikan hingga 100%. Campuran ini dikenal dengan sebutan gasohol.

Substrat yang dapat difermentasikan menjadi alkohol :

  1. bahan bergula (sugary materials) : tebu dan sisa produknya (molase, bagase), gula bit, tapioca, kentang manis, sorghum manis, dll. Molasses tebu digunakan besar-besaran di beberapa negara untuk memproduksi alkohol.
  2. Bahan-bahan berpati (starchy materials) : tapioka, maizena, barley, gandum, padi, dan kentang. Jagung dan ubikayu adalah dua kelompok substrat yang menarik perhatian. 11,7 kg tepung jagung dapat dikonversi menjadi 7 liter etanol.
  3. Bahan-bahan lignoselulosa (lignosellulosic material) : sumber selulosa dan lignoselulosa berasal dari limbah pertanian dan kayu. Akan tetapi, hasil etanol dari lignoselulosa sedikit karena kekurangan teknologi untuk mengkonversi pentosa menjadi etanol. 409 liter etanol dapat diproduksi dari 1 ton lignoselulosa.

GASOHOL

Bioetanol bersifat multi-guna karena dicampur dengan bensin pada komposisi berapapun memberikan dampak yang positif. Pencampuran bioetanol absolut sebanyak 10 % dengan bensin (90%), sering disebut Gasohol E-10. Gasohol singkatan dari gasoline (bensin) plus alkohol (bioetanol). Etanol absolut memiliki angka oktan (ON) 117, sedangkan Premium hanya 87-88. Gasohol E-10 secara proporsional memiliki ON 92 atau setara Pertamax. Pada komposisi ini bioetanol dikenal sebagai octan enhancer (aditif) yang paling ramah lingkungan dan di negara-negara maju telah menggeser penggunaan Tetra Ethyl Lead (TEL) maupun Methyl Tertiary Buthyl Ether (MTBE).

Pencampuran sampai dengan 24 % masih dapat menggunakan mobil bensin konvensional. Di atas itu, diperlukan mobil khusus yang telah banyak diproduksi di AS maupun Brazil. Yang populer dan diminati saat ini adalah Flexible-Fuel Vehicle (FFV). Ini sejenis “mobil cerdas” karena dilengkapi dengan sensor dan panel otomatisasi yang dapat mengatur mesin untuk menggunakan campuran bensin-bioetanol pada komposisi berapapun.

INDUSTRI BIOENERGI NASIONAL

Pabrik gula (PG) di Indonesia sudah waktunya melakukan transformasi peran dari sekedar sebagai penghasil gula menjadi suatu industri berbasis tebu, seperti yang dilakukan PG di negara-negara produsen gula dunia. Industri yang mampu memanfaatkan peran seperti itu mampu mengurangi ketergantungan perusahaan dari gula semata, karena dengan menjadi industri berbasis tebu, akan banyak produk dan derivat yang dihasilkan tebu dapat dimanfaatkan untuk keuntungan perusahaan.

Untuk Indonesia, lanjutnya, karena masih banyak PG yang kekurangan bahan baku tebu, maka tahapan saat ini bioetanol layaknya berbahan baku tetes. Dari tiap ton tebu yang digiling, dihasilkan tetes sekitar 40-45 kg dan sebagian hasilnya masuk ke petani sebagai pemasok tebu. Selama ini tetes lebih banyak digunakan sebagai bahan baku pembuatan asam asetat dan monosodium glutamat

Selain tebu, ubi kayu cukup potensial sebagai bahan baku bioetanol. Ubi kayu relatif lebih mudah dibudidayakan pada berbagai jenis lahan pertanian. Lahan-lahan yang selama ini tidak produktif dapat ‘dihidupkan’ kembali dengan menanam tanaman bioenergi. Hal yang perlu dilakukan adalah pemetaan potensi daerah dalam memproduksi tanaman bioenergi.

Selanjutnya adalah pembuatan industri bioenergi secara terpadu yang melibatkan perusahaan, pemerintah, universitas, dan petani. Dengan hal ini, maka setiap daerah diharapkan mampu menjadi daerah mandiri energi. Paradigma yang kemudian dibangun adalah ‘pemberdayaan’ masyarakat. Bukan ‘penghisapan’ masyarakat dan SDA yang selama ini cenderung dilakukan oleh Multi National Corpaorate (MNC). Pasokan energi yang berkelanjutan dan ramah lingkungan merupakan sebuah fundamental pembangunan bangsa Indonesia mengahdapi globalisasi.

Biogas Dari Kotoran Manusia


Tingginya harga minyak tanah dan gas elpiji saat ini merangsang sejumlah warga untuk kreatif. Di Kelurahan Balu Werti, Kediri, Jawa Timur warga membuat biogas dari kotoran manusia dimana kualitas api yang dihasilkan tidak kalah dengan gas elpiji.

Kelurahan Balu Werti, Kediri, Jawa Timur termasuk wilayah kumuh dengan kepadatan penduduk yang cukup tinggi. Sebagian besar warganya tidak memiliki kamar mandi didalam rumah. Untuk memenuhi kebutuhan mandi, cuci dan kakus (MCK), warga memanfaatkan sanitasi masyarakat atau Sanimas.

Ditengah tingginya harga minyak tanah dan gas elpiji saat ini keberadaan Sanimas yang dibangun tahun 2004 memberikan nilai lebih. Pasalnya kotoran manusia di Sanimas ini diolah menjadi biogas. Bahkan kualitas biogas ini tidak kalah dari kualitas gas elpiji.

Saat ini baru 6 keluarga yang memanfaatkan biogas untuk kebutuhan sehari-hari. Dalam sebulan setiap warga hanya dipungut iyuran 20 ribu rupiah. Jauh lebih hemat jika menggunakan minyak tanah yang sebulan mencapai 70 ribu rupiah.

Meski dihasilkan dari kotoran manusia, Jika melihat dari kualitas biogas yang dihasilkan tidak usah merasa jijik memanfaatkan biogas untuk memasak.

Kamis, 28 Mei 2009

Dinas Pertanian Jakarta Kembangkan Beras dari Singkong

Dinas Pertanian dan Kehutanan Provinsi DKI Jakarta tengah mengembangkan Rasijalijo. Bahan makanan yang terbuat dari campuran ampas tapioka (singkong), jagung, kedelai dan kacang hijau itu dapat dimakan untuk mengganti beras dari padi.

"Rasijalijo ini akan dikembangkan menjadi makanan pokok pengganti beras dalam beberapa tahun kedepan," ujar Kepala Sub Dinas Mutu dan Pengelolaan, Wahyu Wikawati pada Tempo Senin (17/12).

Rasijalijo yang merupakan singkatan dari beras dari singkong, jagung, kedelai dan kacang hijau itu diteliti sebagai pengganti beras dalam upaya menghadapi perubahan iklim yang sedang terjadi. Perubahan iklim yang terjadi memberikan dampak yang sigifikan di sektor pertanian, "Karenanya, kami berupaya mengembangkan bahan makanan baru pengganti beras," ujar Wahyu.

Menurut Wahyu, rasijalijo terdiri atas campuran 85 persen ampas tapioka dan 15 persen jagung, kedelai dan kacang hijau yang digiling hingga halus. "Rasijalijo memiliki protein yang lebih tinggi dari beras dan dapat membantu pengobatan penderita autisme," ujarnya.

Saat ini, kata dia, Dinas sedang mengembangkan penelitian ke jangka waktu kadaluarsa Rasijalijo, sebelum pengganti beras itu dilepas di lapangan. Dinas Pertanian sempat melakukan survey melalui pemberian bubur Rasijalijo kepada pengunjung posyandu di bilangan Mampang, Jakarta Selatan.

Jumat, 22 Mei 2009

Briket Arang Kelapa


Padang, Kompas - Tempurung kelapa yang selama ini hanya menjadi limbah atau diolah sebagai arang kelapa tengah dikembangkan menjadi briket di Kota Pariaman, Sumatera Barat. Briket tersebut mempunyai nilai tambah dibandingkan dengan arang batok. Pabrik skala usaha mikro, kecil, dan menengah ini berada di naungan kelompok usaha Roda Banting. Proses pengolahan tempurung kelapa menjadi briket ini menggunakan alat hasil rakitan sendiri. Sekali cetak, alat pembuat briket ini bisa menghasilkan 320 keping briket. Setiap kilogram briket dapat digunakan untuk memasak sampai enam jam.Mesin yang digunakan antara lain adalah mesin penghancur arang batok menjadi tepung kasar, mesin penghancur tepung kasar menjadi halus, mesin pencampur dan mesin pencetak briket dalam jumlah besar.

Lebih tinggi

Harga briket dengan kandungan karbon lebih dari 60 persen bisa mencapai Rp 5.000-Rp 6.000 per kilogram. Harga tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan harga arang tempurung yang hanya sebesar Rp 1.200 per kilogram.Briket tempurung relatif ramah lingkungan dan tergolong sumber energi yang dapat diperbarui.Penerapan inovasi teknologi pengolahan tempurung kelapa menjadi briket sangat diperlukan di beberapa daerah. Dengan teknologi yang tepat bisa dihasilkan briket yang memenuhi standar. Briket model ini nantinya bisa digunakan sebagai pengganti bahan bakar minyak, terlebih setelah harga BBM cukup mahal saat ini.

Tergolong baik

Dari hasil pengujian , briket yang dihasilkan ini tergolong baik karena mempunyai kadar karbon lebih dari 60 persen.Di masa depan juga dibutuhkan kompor khusus untuk briket sehingga briket bisa digunakan secara massal oleh masyarakat. Selain itu, briket juga mempunyai prospek untuk diekspor.

Sabtu, 02 Mei 2009

Pembangkit listrik turbin angin

Menurunnya tinggi permukaan air di berbagai bendungan-terutama yang dimanfaatkan sebagai sumber pembangkit listrik tenaga air (PLTA)-telah menurunkan pasokan listrik di Jawa hingga 500 megawatt. Sebagai salah satu sumber pemasok listrik, PLTA bersama pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dan pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) memang memegang peran penting terhadap ketersediaan listrik terutama di Jawa, Madura, dan Bali. Energi angin yang sebenarnya berlimpah di Indonesia ternyata belum dimanfaatkan sebagai alternatif penghasil listrik. Padahal, di berbagai negara, pemanfaatan energi angin sebagai sumber energi alternatif nonkonvensional sudah semakin mendapatkan perhatian. Hal ini tentu saja didorong oleh kesadaran terhadap timbulnya krisis energi dengan kenyataan bahwa kebutuhan energi terus meningkat sedemikian besarnya. Di samping itu, angin merupakan sumber energi yang tak ada habisnya sehingga pemanfaatan sistem konversi energi angin akan berdampak positif terhadap lingkungan.

Semua energi yang dapat diperbaharui dan bahkan energi pada bahan bakar fosil-kecuali energi pasang surut dan panas bumi-berasal dari Matahari. Matahari meradiasi 1,74 x 1.014 kilowatt jam energi ke Bumi setiap jam. Dengan kata lain, Bumi menerima 1,74 x 1.017 watt daya.
Sekitar 1-2 persen dari energi tersebut diubah menjadi energi angin. Jadi, energi angin berjumlah 50-100 kali lebih banyak daripada energi yang diubah menjadi biomassa oleh seluruh tumbuhan yang ada di muka Bumi.Sebagaimana diketahui, pada dasarnya angin terjadi karena ada perbedaan temperatur antara udara panas dan udara dingin. Daerah sekitar khatulistiwa, yaitu pada busur 0°, adalah daerah yang mengalami pemanasan lebih banyak dari Matahari dibanding daerah lainnya di Bumi.Daerah panas ditunjukkan dengan warna merah, oran
ye, dan kuning pada gambar inframerah dari temperatur permukaan laut yang diambil dari satelit NOAA-7 pada Juli 1984. Udara panas lebih ringan daripada udara dingin dan akan naik ke atas sampai mencapai ketinggian sekitar 10 kilometer dan akan tersebar ke arah utara dan selatan.
Jika Bumi tidak berotasi pada sumbunya, maka udara akan tiba di kutub utara dan kutub selatan, turun ke permukaan lalu kembali ke khatulistiwa. Udara yang bergerak inilah yang merupakan energi yang dapat diperbaharui, yang dapat digunakan untuk memutar turbin dan akhirnya dapat menghasilkan listrik.

Sebuah pembangkit listrik tenaga angin dapat dibuat d
engan menggabungkan beberapa turbin angin sehingga menghasilkan listrik ke unit penyalur listrik. Listrik dialirkan melalui kabel transmisi dan didistribusikan ke rumah-rumah, kantor, sekolah, dan sebagainya.Turbin angin dapat memiliki tiga buah bilah turbin. Jenis lain yang umum adalah jenis turbin dua bilah.
Jadi, bagaimana turbin angin menghasilkan listrik? Turbin angin bekerja sebagai kebalikan dari kipas angin. Bukannya menggunakan listrik untuk membuat angin, seperti pada kipas angin, turbin angin menggunakan angin untuk membuat listrik.Angin akan memutar sudut turbin, kemudian memutar sebuah poros yang dihubungkan dengan generator, lalu menghasilkan listrik. Turbin untuk pemakaian umum berukuran 50-750 kilowatt. Sebuah turbin kecil, kapasitas 50 kilowatt, digunakan untuk perumahan, piringan parabola, atau pemompaan air.
Dalam perkembangannya, turbin angin dibagi menjadi jenis turbin angin propeler dan turbin angin Darrieus. Kedua jenis turbin inilah yang kini memperoleh perhatian besar untuk dikembangkan. Pemanfaatannya yang umum sekarang sudah digunakan adalah untuk memompa air dan pembangkit tenaga listrik. Turbin angin propeler adalah jenis turbin angin dengan poros horizontal seperti baling- baling pesawat terbang pada umumnya. Turbin angin ini harus diarahkan sesuai dengan arah angin yang paling tinggi kecepatannya. Kecepatan angin diukur dengan alat yang disebut anemometer. Anemometer jenis mangkok adalah yang paling banyak digunakan. Anemometer mangkok mempunyai sumbu vertikal dan tiga buah mangkok yang berfungsi menangkap angin. Jumlah putaran per menit dari poros anemometer dihitung secara elektronik. Biasanya, anemometer dilengkapi dengan sudut angin untuk mendeteksi arah angin. Jenis anemometer lain adalah anemometer ultrasonik atau jenis laser yang mendeteksi perbedaan fase dari suara atau cahaya koheren yang dipantulkan dari molekul-molekul udara.

Turbin angin Darrieus merupakan suatu sistem konversi energi angin yang digolongkan dalam jenis turbin angin berporos tegak. Turbin angin ini pertama kali ditemukan oleh GJM Darrieus tahun 1920. Keuntungan dari turbin angin jenis Darrieus adalah tidak memerlukan mekanisme orientasi pada arah angin (tidak perlu mendeteksi arah angin yang paling tinggi kecepatannya) seperti pada turbin angin propeler. Di Indonesia telah mulai dikembangkan proyek percontohan baik oleh lembaga penelitian maupun oleh pusat studi beberapa perguruan tinggi. Proyek ini perlu memperoleh perhatian dari pihak yang terkait untuk dikembangkan karena membutuhkan riset yang cukup intensif mengenai kecepatan angin, lokasi penempatan turbin angin, serta cara untuk mengatur pembebanan turbin yang tidak merata. Misalnya pada malam hari angin cukup kencang, sedangkan pada pagi dan siang hari kecepatan angin turun sehingga harus ada mekanisme penyimpanan energi serta mekanisme untuk menstabilkan fluktuasi tegangan listrik yang dihasilkan. Dalam situasi yang serba kekurangan pasokan listrik seperti sekarang, tampaknya alternatif energi angin perlu dikaji ulang. Selain hasilnya selalu berkelanjutan, harganya pun kompetitif dibanding pembangkit listrik lainnya.

Mikrohidro untuk konservasi

Berkembangnya upaya untuk terus mengembangkan tenaga listrik dari energi mikrohidro di Indonesia, menjadi asa lahirnya pola logika konservasi alam dan hutan baru. Sehingga sedikitnya sudah 60 pembangkit listrik tenaga mikrohidro yang ada di Indonesia juga bisa memunculkan pola pikir baru konservasi alam dari 60 wilayah itu. Upaya membangun pembangkit listrik tenaga mikrohidro adalah upaya konstruktif untuk mengajak masyarakat peduli dengan lingkungan hidup secara riil. Memanfaatkan air untuk memutar turbin pembangkit listrik, maka mau tidak mau debit air harus tetap terjaga. Menjaga kuantitas hutan adalah pilihan mutlak bagi masyarakat di sekitar yang memanfaatkan hutan untuk hidup dan berharap listrik dari mikrohidro. Menjaga hutan berarti juga mempertahankan debit air sungai sebagai pembangkitnya. Inilah logika konservasi yang berkembang dari mikrohidro.


Dalam konteksnya, pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) berpotensi dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan listrik lokal masyarakat yang jauh dari akses listrik PLN. Di Indonesia, kurang lebih 70 PLTMH telah berdiri dan dikembangkan. Sedangkan di Jawa Timur sampai saat ini tercatat sedikitnya dua PLTMH, yaitu di desa Seloliman Trawas Kabupaten Mojokerto di bawah gunung Penanggungan dan di Bendungan Kabupaten Trenggalek. Dibalik sebagai alternatif energi listrik, konsep pengembangan PLTMH ternyata mengandung makna sebagai wujud logika konservasi modern.
Konsep Mikrohidro adalah berbasis pada teknologi pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH). Istilah mikrohidro biasanya dipakai untuk pembangkit listrik yang menghasilkan output di bawah 500 KW, sementara minihidro untuk output 500 KWi MW. Lebih besar dari itu biasa disebut dengan PLTA. Potensi pengembangan PLTMH di Jawa Timur belakangan terus dilirik oleh beberapa pengusaha maupun kepala daerah. Peta geografis Jawa Timur yang memiliki hutan dengan kemiringan 30-40 persen dekat dengan masyarakat di pinggir hutan adalah potensi pengembangan mikrohidro. Untuk itulah, pemerintah Kabupaten Trenggalek dan Jombang baru-baru ini juga getol menggarap pengembangan mikrohidro untuk energi listrik masyarakat terisolasi maupun untuk interkoneksi dengan PLN mengurai masalah ketersediaan energi listrik.

Dua wilayah di kabupaten Mojokerto dalam bulan ini juga akan segera mengembangkan dua lokasi mikrohidro baru. Pengembangan ini berada di dusun Sendi Desa Pacet Selatan Kecamatan Pacet dan di Seloliman Kecamatan Trawas. Konsep yang akan dikembangkan dalam pembuatan mikrohidro ini adalah sebagai sarana untuk menunjang kebutuhan listrik masyarakat sekitar. Dalam skala nasional, banyak pakar energi listrik tenaga air yang menyebutkan bahwa Indonesia memiliki potensi besar untuk pengembangan pembangkit listrik tenaga air. Alas an logisnya juga sepadan karena kondisi topografi Indonesia bergunung dan berbukit serta dialiri oleh banyak sungai. Memnafaatkan air untuk membangkitkan energi listrik melalui pemutaran turbin adalah salah satu teknologi yang tidak merusak lingkungan. Selain itu pembangkit listrik dari air ini juga mampu memanfaatkan energi terbarukan, menunjang program pengurangan pemanfaatan BBM, dan sebagian besar memakai kandungan lokal.

Berdasarkan penelitian, besar potensi energi air di Indonesia yang dikembangkan melalui PLTA adalah 74.976 MW, sebanyak 70.776 MW ada di luar Jawa, yang sudah termanfaatkan adalah sebesar 3.105,76 MW sebagian besar berada di Pulau Jawa. Selain melalui PLTA, energi mikrohidro (PLTMH) memiliki potensinya adalah 458,75 MW. Sehingga energi mikrohidro berpotensi untuk memenuhi kebutuhan tenaga listrik di daerah pedesaan dan napedalaman yang terpencil ataupun pedesaan. Namun, energi listrik melalui PLTA diyakini cukup boros dan sebaran penggunaannya tidak merata. Pelayanan listrik baru menjangkau permukiman di perkotaan, sementara wilayah pelosok masih banyak yang belum terjangkau listrik. Rasio elektrifikasi di Indonesia saat ini baru mencapai angka 58%. Dengan jumlah penduduk 220 juta jiwa, berarti masih ada sekitar 105 juta penduduk yang tidak mendapat pelayanan energi listrik.

Jumat, 01 Mei 2009

Biogas - alternatif krisis energi

Biogas adalah gas mudah terbakar (flammable) yang dihasilkan dari proses fermentasi bahan-bahan organik oleh bakteri-bakteri anaerob (bakteri yang hidup dalam kondisi kedap udara). Pada umumnya semua jenis bahan organik bisa diproses untuk menghasilkan biogas, namun demikian hanya bahan organik (padat, cair) homogen seperti kotoran dan urine (air kencing) hewan ternak yang cocok untuk
sistem biogas sederhana. Disamping itu juga sangat mungkin menyatukan saluran pembuangan di
kamar mandi atau WC ke dalam sistem Biogas. Di daerah yang banyak industri pemrosesan maka-
nan antara lain tahu, tempe, ikan pindang atau brem bisa menyatukan saluran limbahnya ke dalam
sistem Biogas, sehingga limbah industri tersebut tidak mencemari lingkungan di sekitarnya. Hal ini
memungkinkan karena limbah industri tersebut diatas berasal dari bahan organik yang homogen.
Jenis bahan organik yang diproses sangat mempengaruhi produktifitas sistem biogas disamping pa-
rameter-parameter lain seperti temperatur digester, pH, tekanan dan kelembaban udara.
Salah satu cara menentuka bahan organik yang sesuai untuk menjadi bahan masukan sistem Bio-
gas adalah dengan mengetahui perbandingan Karbon (C) dan Nitrogen (N) atau disebut rasio C/N.
Beberapa percobaan yang telah dilakukan oleh ISAT menunjukkan bahwa aktifitas metabolisme dari
bakteri methanogenik akan optimal pada nilai rasio C/N sekitar 8-20.


Bahan organik dimasukkan ke dalam ruangan tertutup kedap udara (disebut Digester) sehingga bakteri anaerob akan membusukkan bahan organik tersebut yang kemudian menghasilkan gas (disebut Biogas). Biogas yang telah terkumpul di dalam digester selanjutnya dialirkan melalui pipa penyalur gas menuju tabung penyimpan gas atau langsung ke lokasi penggunaannya.
Komposisi gas yang terdapat di dalam Biogas dapat dilihat pada tabel berikut:

Jenis Gas Volume (%)
Methana (CH4)

40 - 70

Karbondioksida (CO2)

30 - 60

Hidrogen (H2)

0 - 1

Hidrogen Sulfida (H2S)

0 - 3

Nilai kalori dari 1 meter kubik Biogas sekitar 6.000 watt jam yang setara dengan setengah liter minyak diesel. Oleh karena itu Biogas sangat cocok digunakan sebagai bahan bakar alternatif yang ramah lingkungan pengganti minyak tanah, LPG, butana, batubara, maupun bahan-bahan lain yang berasal
dari fosil.

Biogas dapat dipergunakan dengan cara yang sama seperti gas-gas mudah terbakar yang lain.Pembakaran biogas dilakukan dengan mencampurnya dengan sebagian oksigen (O2). Namun demi-
kian, untuk mendapatkan hasil pembakaran yang optimal, perlu dilakukan pra kondisi sebelum Biogas dibakar yaitu melalui proses pemurnian/penyaringan karena Biogas mengandung beberapa
gas lain yang tidak menguntungkan. Sebagai salah satu contoh, kandungan gas Hidrogen Sulfida yang tinggiyang terdapat dalam Biogas jika dicampur dengan Oksigen dengan perbandingan 1:20, maka akan menghasilkan gas yang sangat mudah meledak. Tetapi sejauh ini belum pernah dilapor-
kan terjadinya ledakan pada sistem Biogas sederhana.Limbah biogas, yaitu kotoran ternak yang telah hilang gasnya (slurry) merupakan pupuk organik yang sangat kaya akan unsur-unsur yang dibutuhkan oleh tanaman. Bahkan, unsur-unsur tertentu seperti protein, selulose, lignin, dan lain-lain tidak bisa digantikan oleh pupuk kimia. Pupuk organik dari bio- gas telah dicobakan pada tanaman jagung, bawang merah dan padi.


Biogas memberikan solusi terhadap masalah penyediaan energi dengan murah dan tidak mencemari
lingkungan. Berdasarkan hasil temuan mahasiswa KKN (1995) dan Penelitian Kecamatan Rawan di
Magetan (1995) di desa Plangkrongan, rata-rata disetiap rumah terdapat 1-3 ekor lembu karena me-
melihara lembu merupakan pekerjaan kedua setelah bertani. Setiap harinya rata-rata seekor lembu
menghasilkan kotoran sebanyak 30 kg. Jika terdapat 2.000 ekor lembu, maka setiap hari akan ter-
kumpul 60 ton kotoran.Kotoran yang menggunung akan terbawa oleh air masuk ke dalam tanah atau sungai yang kemudianmencemari air tanah dan air sungai. Kotoran lembu mengandung racun dan bakteri Colly yang mem-
bahayakan kesehatan manusia dan lingkungannya.
Pembakaran bahan bakar fosil menghasilkan Karbon dioksida (CO2) yang ikut memberikan kontri-
busi bagi efek rumah kaca (green house effect) yang bermuara pada pemanasan global (global war-
ming). Biogas memberikan perlawanan terhadap efek rumah kaca melalui 3 cara. Pertama, Biogas
memberikan substitusi atau pengganti dari bahan bakar fosil untuk penerangan, kelistrikan, memasak
dan pemanasan. Kedua, Methana (CH4) yang dihasilkan secara alami oleh kotoran yang menumpuk
merupakan gas penyumbang terbesar pada efek rumah kaca, bahkan lebih besar dibandingkan CO2.
Pembakaran Methana pada Biogas mengubahnya menjadi CO2 sehingga mengurangi jumlah Methana
di udara. Ketiga, dengan lestarinya hutan, maka akan CO2 yang ada di udara akan diserap oleh hutan
yang menghasilkan Oksigen yang melawan efek rumah kaca.
Keluarga-keluarga yang menggunakan Biogas sudah tidak membutuhkan pembelian bahan bakar
karena sudah bisa terpenuhi kebutuhannya dari kotoran ternak yang dipeliharanya. Bagi mereka yang
bisanya mencari/memotong kayu bakar di hutan kini waktunya bisa dipergunakan untuk kegiatan
yang memberikan nilai tambah ekonomis, dengan pekerjaan sambilan yang lain.
Kotoran ternak menjadi sangat berharga, oleh karena itu mereka akan rajin merawat ternaknya
sehingga kondisi kandang menjadi bersih dan kesehatan ternak menjadi lebih baik, pada akhirnya
membawa keuntungan dengan penjualan ternak yang lebih cepat dan berharga lebih tinggi. Keluarga
petani yang biasanya menggunakan pupuk kimia untuk menanam, kini bisa menghemat biaya pro-
produksi pertaniannya karena sudah tersedia pupuk organik dalam jumlah yang memadai dan kuali-
tas pupuk yang lebih baik.

Aspek Sosio-Kultural penerapan teknologi biogas. Menerapkan teknologi baru kepada masyarakat
desa merupakan suatu tantangan tersendiri akibat rendahnya latar belakang pendidikan, pengeta-
huan dan wawasan yang mereka miliki. Terlebih lagi pada penerapan teknologi biogas. Tidak pernah
terbayangkan bahwa kotoran lembu bisa menghasilkan api. Selain itu juga mereka merasa jijik
terhadap makanan yang dimasak menggunakan Biogas. Di desa Plangkrongan, perlu waktu 2 tahuna
hanya untuk membangun sebuah unit Biogas percontohan. Metode yang dipergunakan untuk men-
sosialisasikan Biogas adalah dengan memilih sebuah keluarga sebagai Khalayak Sasaran Antara
(KSA) yang diharapkan menjadi pelopor dan bisa mengembangkan Biogas itu kepada Masyarakat
sebagai Khalayak Sasarannya.