Harga beras yang melambung membuat rakyat kian menderita dan bisa memunculkan ketidakstabilan di segala bidang. Inikah saatnya diversifikasi pangan? Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) menunjukkan, konsumsi beras untuk masyarakat berpenghasilan rendah cenderung naik, sekitar 120-130 kg per kapita per tahun. Sebaliknya, mereka yang masuk tingkat ekonomi tinggi, hanya mengonsumsi beras 75-90 kg per kapita per tahun. Kelompok ekonomi tinggi umumnya telah mengurangi konsumsi beras karena telah mengalami pergeseran pola makan. Sarapan tak lagi harus nasi, tetapi bisa roti atau sereal. Diversifikasi pangan pun sudah dimulai.
Diversifikasi pangan
Namun, secara keseluruhan, mengapa diversifikasi pangan tidak berhasil? Pertama, beras mempunyai citra superior sehingga preferensi atas beras mengungguli jagung, singkong, sagu, dan lainnya. Kedua, ketersediaan beras sepanjang waktu di berbagai wilayah, lebih baik dibanding ketersediaan komoditas pangan lainnya. Ketiga, teknologi pengolahan beras menjadi nasi amat simpel, menghasilkan citarasa netral yang tidak membosankan. Kini, diversifikasi pangan kini menjadi momentum yang tepat. Pola konsumsi pangan yang bermutu gizi seimbang mensyaratkan perlunya diversifikasi pangan dalam menu sehari-hari. Pangan yang beragam amat penting karena tidak ada satu jenis pangan yang dapat menyediakan gizi bagi seseorang secara lengkap. Dengan konsumsi yang beragam, kekurangan zat gizi dari satu jenis pangan akan dilengkapi dari pangan lain.
Masyarakat Gunung Kidul sudah lama tidak bergantung pada beras. Mereka mengonsumsi tiwul yang terbuat dari singkong sebagai makanan pokok. Ini dilakukan akibat kelangkaan beras dan kemiskinan. Pada awal tahun 1960-an keadaan kian parah karena serangan hama tikus sehingga kasus HO (honger oedem) merebak akibat kelaparan. Bagaimana kehidupan di Gunung Kidul kini? Sudah membaik, meski kemiskinan masih harus diatasi. Selain kemiskinan, masyarakat Gunung Kidul juga akrab dengan kekeringan. Pada bulan-bulan panen padi dan selama masyarakat masih mempunyai persediaan beras, mereka makan nasi. Ketika beras menipis dan memasuki musim kemarau, penduduk Gunung Kidul mulai menyiapkan gaplek yang harganya Rp 400 per kg. Gaplek yang berasal dari singkong ini diolah menjadi tiwul, dicampur nasi, menjadi sega uleng. Agar gaplek terhindar dari serangan kutu, masyarakat membuat gogik atau tiwul yang dikeringkan dan tahan berbulan-bulan.
Dua strategi
Kepuasan makan tiwul timbul karena rasa kenyangnya bertahan lama dibanding makan nasi. Sebagian masyarakat ada yang beranggapan makan tiwul dapat memperpanjang umur. Apakah rakyat Gunung Kidul sedang mempraktikkan diversifikasi pangan pokok? Apakah mereka menanggapi seruan pemerintah tentang perlunya mengurangi tekanan terhadap beras melalui penganekaragaman konsumsi? Jika penduduk Gunung Kidul berdiversifikasi pangan pokok, jelas hal itu dilakukan bukan dalam rangka menyukseskan program pemerintah. Mereka mengonsumsi campuran nasi dan tiwul karena keadaan. Kemiskinan dan tantangan alam telah menggembleng rakyat Gunung Kidul untuk mau makan tiwul dan mengurangi konsumsi beras.
Maka, ada dua strategi ekstrem yang dapat dilakukan untuk mengurangi konsumsi beras. Pertama, tingkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pengentasan kemiskinan, membuka lapangan kerja, perbaikan derajat kesehatan dan pendidikan. Kedua, biarkan masyarakat tetap miskin, biarkan harga beras naik sehingga mereka tidak mampu membeli beras dan mau tidak mau makan umbi-umbian sebagai makanan pokok. Jika memilih strategi pertama, ini wujud adanya perhatian pemerintah terhadap kualitas dan perbaikan nasib bangsa. Namun, bila tidak berbuat apa-apa berarti memilih strategi kedua. Isu kesejahteraan masyarakat selayaknya menjadi perhatian semua. Jumlah penduduk miskin di Indonesia justru bertambah, bukan berkurang. Kini penting bagi masyarakat untuk mencatat dan menagih janji para pemimpin yang katanya dulu akan berjuang memakmurkan rakyat.
sumber : http://www.kompas. com/kompas- cetak/0612/ 21/opini/ 3190395.htm
Diversifikasi pangan
Namun, secara keseluruhan, mengapa diversifikasi pangan tidak berhasil? Pertama, beras mempunyai citra superior sehingga preferensi atas beras mengungguli jagung, singkong, sagu, dan lainnya. Kedua, ketersediaan beras sepanjang waktu di berbagai wilayah, lebih baik dibanding ketersediaan komoditas pangan lainnya. Ketiga, teknologi pengolahan beras menjadi nasi amat simpel, menghasilkan citarasa netral yang tidak membosankan. Kini, diversifikasi pangan kini menjadi momentum yang tepat. Pola konsumsi pangan yang bermutu gizi seimbang mensyaratkan perlunya diversifikasi pangan dalam menu sehari-hari. Pangan yang beragam amat penting karena tidak ada satu jenis pangan yang dapat menyediakan gizi bagi seseorang secara lengkap. Dengan konsumsi yang beragam, kekurangan zat gizi dari satu jenis pangan akan dilengkapi dari pangan lain.
Masyarakat Gunung Kidul sudah lama tidak bergantung pada beras. Mereka mengonsumsi tiwul yang terbuat dari singkong sebagai makanan pokok. Ini dilakukan akibat kelangkaan beras dan kemiskinan. Pada awal tahun 1960-an keadaan kian parah karena serangan hama tikus sehingga kasus HO (honger oedem) merebak akibat kelaparan. Bagaimana kehidupan di Gunung Kidul kini? Sudah membaik, meski kemiskinan masih harus diatasi. Selain kemiskinan, masyarakat Gunung Kidul juga akrab dengan kekeringan. Pada bulan-bulan panen padi dan selama masyarakat masih mempunyai persediaan beras, mereka makan nasi. Ketika beras menipis dan memasuki musim kemarau, penduduk Gunung Kidul mulai menyiapkan gaplek yang harganya Rp 400 per kg. Gaplek yang berasal dari singkong ini diolah menjadi tiwul, dicampur nasi, menjadi sega uleng. Agar gaplek terhindar dari serangan kutu, masyarakat membuat gogik atau tiwul yang dikeringkan dan tahan berbulan-bulan.
Dua strategi
Kepuasan makan tiwul timbul karena rasa kenyangnya bertahan lama dibanding makan nasi. Sebagian masyarakat ada yang beranggapan makan tiwul dapat memperpanjang umur. Apakah rakyat Gunung Kidul sedang mempraktikkan diversifikasi pangan pokok? Apakah mereka menanggapi seruan pemerintah tentang perlunya mengurangi tekanan terhadap beras melalui penganekaragaman konsumsi? Jika penduduk Gunung Kidul berdiversifikasi pangan pokok, jelas hal itu dilakukan bukan dalam rangka menyukseskan program pemerintah. Mereka mengonsumsi campuran nasi dan tiwul karena keadaan. Kemiskinan dan tantangan alam telah menggembleng rakyat Gunung Kidul untuk mau makan tiwul dan mengurangi konsumsi beras.
Maka, ada dua strategi ekstrem yang dapat dilakukan untuk mengurangi konsumsi beras. Pertama, tingkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pengentasan kemiskinan, membuka lapangan kerja, perbaikan derajat kesehatan dan pendidikan. Kedua, biarkan masyarakat tetap miskin, biarkan harga beras naik sehingga mereka tidak mampu membeli beras dan mau tidak mau makan umbi-umbian sebagai makanan pokok. Jika memilih strategi pertama, ini wujud adanya perhatian pemerintah terhadap kualitas dan perbaikan nasib bangsa. Namun, bila tidak berbuat apa-apa berarti memilih strategi kedua. Isu kesejahteraan masyarakat selayaknya menjadi perhatian semua. Jumlah penduduk miskin di Indonesia justru bertambah, bukan berkurang. Kini penting bagi masyarakat untuk mencatat dan menagih janji para pemimpin yang katanya dulu akan berjuang memakmurkan rakyat.
sumber : http://www.kompas. com/kompas- cetak/0612/ 21/opini/ 3190395.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar