Minggu, 31 Mei 2009

Pemberdayaan Rakyat di era Otonomi Daerah


Krisis moneter yang mengguncang iklim usaha (ekonomi) nasional beberapa tahun terakhir semakin menyadarkan banyak pihak akan pentingnya pemberdayaan ekonomi rakyat. Sebuah paradigma pembangunan yang tidak memutlakkan dasar pertumbuhan pada peran penguasa-penguasa ekonomi, melainkan pada semua pihak terutama pada peran ekonomi rakyat.

Keputusan politik pemberlakuan Otonomi Daerah yang dimulai sejak tanggal 1 Januari 2001, telah membawa implikasi yang luas dan serius. Otonomi Daerah merupakan fenomena politis yang menjadikan penyelenggaraan Pemerintahan yang sentralistik birokratis ke arah desentralistik partisipatoris. Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah telah melahirkan paradigma baru dalam pelaksanaan otonomi daerah, yang meletakkan otonomi penuh, luas dan bertanggung jawab pada Daerah Kabupaten dan Kota. Perubahan ini dimaksudkan untuk meningkatkan efektivitas pelayanan masyarakat, menumbuhkan semangat demokratisasi dan pelaksanaan pembangunan daerah secara berkelanjutan, dan lebih jauh diharapkan akan menjamin tercapainya keseimbangan kewenangan dan tanggung jawab antara pusat dan daerah.

Lahirnya kedua UU ini juga akan memberikan implikasi positif bagi dinamika aspirasi masyarakat setempat. Kebijakan daerah tidak lagi bersifat “given” dan “uniform” (selalu menerima dan seragam) dari Pemerintah Pusat, namun justru Pemerintah Daerah yang mesti mengambil inisiatif dalam merumuskan kebijakan daerah yang sesuai dengan aspirasi, potensi dan sosio-kultural masyarakat setempat. UU ini juga membuka jalan bagi terselenggaranya pemerintahan yang baik (good governance) di satu pihak dan pemberdayaan ekonomi rakyat di pihak lain. Karena dengan otonomi, Pemerintahan Kabupaten/Kota memiliki kewenangan yang memadai untuk mengembangkan program-program pembangunan berbasis masyarakat (ekonomi rakyat). Jika selama ini program-program pemberdayaan ekonomi rakyat (IDT, misalnya) didisain dari pusat, tanpa daerah memiliki kewenangan untuk “berkreasi”, sekaranglah saatnya pemerintah daerah kabupaten/kota menunjukkan kemampuannya. Tantangan, bahwa daerah mampu mendisain dan melaksanakan program yang sesuai dengan kondisi lokal patut disikapi dengan kepercayaan diri dan tanggung jawab penuh.

Pertanyaannya, apa yang mesti dilakukan oleh pemerintah daerah dalam memberdayakan ekonomi rakyat di era otonomi daerah ?

Jika disepakati bahwa konsep pemberdayaan didasarkan pada nilai-nilai tertentu yang memihak pada subyek yaitu masyarakat akar rumput, wong cilik, komunitas paling kecil atau masyarakat yang terorganisasi secara teritorial, maka pemberdayaan (ekonomi rakyat) tidak bisa hanya dikonsepkan dari atas (sentralistis). Pemberdayaan menekankan adanya otonomi komunitas dalam pengambilan keputusan, kemandirian dan keswadayaan lokal, demokrasi dan belajar dari pengalaman sejarah. Esensinya ada pada partisipasi masyarakat dalam setiap tahapan perubahan masyarakatnya. Partisipasi mampu terwujud jika terdapat pranata sosial di tingkat komunitas yang mampu menampung aspirasi masyarakat dalam pembangunan. Tanpa adanya pranata sosial dan politik di tingkat komunitas, kelurahan, kecamatan dan kabupaten yang mampu memberikan rakyat akses ke pengambilan keputusan, yang akan diuntungkan hanyalah kalangan bisnis dan kalangan menengah pedesaan serta perkotaan. Kebijakan top down yang didisain untuk menolong rakyat tidak bisa dikatakan mempromosikan perekonomian rakyat karena tidak ada jaminan bahwa rakyatlah yang akan menikmati keuntungannya. Untuk mewujudkan ekonomi rakyat berdaya, yang pertama-tama harus dilakukan adalah memfasilitasi terbentuknya pranata sosial yang memungkinkan rakyat ikut serta dalam pengambilan keputusan di tingkat kelurahan, kecamatan, dan kabupaten. Apabila ada pranata sosial yang memungkinkan rakyat untuk merumuskan kebutuhan pembangunan mereka dan memetakan potensi serta hambatan yang mereka hadapi dalam rangka memenuhi kebutuhan pembangunan mereka, pemerataan kesempatan berusaha akan dengan sendirinya mulai tercipta.

Yang menjadi masalah, struktur kelembagaan politik dari tingkat kabupaten sampai ke tingkat komunitas yang diciptakan oleh Orde Baru adalah lebih merupakan alat kontrol birokrasi terhadap masyarakat. Tidak mungkin ekonomi kerakyatan diwujudkan tanpa restrukturisasi kelembagaan politik di tingkat kelurahan dan kecamatan. Dengan demikian persoalan pengembangan ekonomi rakyat juga tidak terlepas dari kelembagaan politik di tingkat kelurahan dan kecamatan. Untuk itu mesti tercipta iklim politik yang kondusif bagi pengembangan ekonomi rakyat. Di tingkat desa dan kecamatan bisa dimulai dengan pendemokratisasian pranata sosial dan politik, agar institusi seperti LKMD (di tingkat kelurahan) dan UDKP (di tingkat kecamatan), benar-benar mewakili kepentingan rakyat. Kalau tidak, perlu difasilitasi pembentukan lembaga baru yang inklusif dan partisipatoris di tingkat kelurahan dan kecamatan untuk menjadi patner dan penekan birokrasi desa dan kecamatan agar memenuhi kebutuhan pembangunan rakyat.

Tanpa adanya restrukturisasi kelembagaan di tingkat kelurahan dan kecamatan, maka pemberdayaan ekonomi rakyat sulit terwujud. Contohnya saja, ketika kelembagaan politik yang ada diserahi untuk mengambil keputusan mengenai implementasi program JPS, banyak sekali jatah bantuan yang tidak mencapai target rakyat miskin. Masalahnya karena memang akses informasi dan kedekatan pada kekuasaan politik di desa justru membuat kalangan kelas menengahnya yang menikmati bantuan. Bagaimana mewujudkan hal tersebut di era perubahan ini ? Jika boleh disebut sebagai masa transisi dari era sentralistis ke era otonomi, yang terjadi adalah “kegelisahan” sebagai akibat belum dipahaminya konsep otonomi secara utuh.

Hasil kunjungan di Kota Yogyakarta dalam rangka kajian kebijakan tentang penanggulangan kemiskinan mendapati suatu kelompok masyarakat yang tergabung dalam BKM yang setidaknya dalam 2 tahun terakhir sukses mengelola dana lewat proyek P2KP. Kunci sukses kelompok ini ada pada pengelolaanya yang mandiri terlepas dari unsur pemerintahan, selain peran pengelola (pengurus) sangat penting. Sukses dalam arti bagaimana kelembagaan ini mampu menjangkau masyarakat miskin sesuai kriteria yang mereka tetapkan, di sisi lain dana yang dikelola mampu berkembang. Era otonomi juga telah membawa sejumlah “perubahan” mendasar di aras desa dan kelurahan, khususnya dalam menyikapi program. Perubahan itu terlihat dari tata hubungan antara elite desa (Kades, Lurah, LKMD, LMD, BPD, dsb) dengan unsur-unsur masyarakat. Kasus suatu BKM di Kelurahan Klitren, Kecamatan Gondokusuman, Kota Yogyakarta merupakan salah satu contoh.

Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) Bina Klitren Mandiri, dibentuk pada tanggal 12 Januari 2002 bertempat di Kantor Kelurahan Klitren. Pembentukan BKM ini terkait dengan program pemerintah yang berjudul Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan, disingkat P2KP. BKM dibentuk melalui suatu pertemuan yang dihadiri oleh Lurah Klitren, LKMD beserta pengurus, Ketua-ketua RW, dan wakil-wakil warga (tokoh). Melalui pertemuan tersebut akhirnya terpilih 9 orang sebagai pengurus BKM. Dalam perjalanannya 4 orang kemudian mengundurkan diri karena kesibukan masing-masing yang kemudian digantikan oleh 3 orang, sehingga sampai sekarang pengurus BKM berjumlah 8 orang. Yang menarik untuk disimak adalah pengelolaan BKM ini mandiri terlepas dari unsur-unsur pemerintahan kelurahan. Bahkan dalam struktur organisasinya tergambarkan bahwa kedudukan Lurah, LKMD, dan Ketua BKM adalah sejajar. Namun dalam kerjanya nampak saling mendukung. Misalnya dalam hal pinjaman kepada anggota kelompok, BKM secara rutin memberikan laporan tertulis tentang posisi pinjaman anggota, siapa-siapa saja yang masih menunggak, serta siapa saja yang pinjamannya lancar. Laporan ini telah dimanfaatkan oleh pihak kelurahan dalam melayani kebutuhan penduduk. Seorang penduduk yang minta pelayanan KTP, tetapi ternyata dari laporan BKM memiliki tunggakan pinjaman, bisa ditegur dan diminta melunasi tunggakannya. Ini menarik mengingat BKM adalah unsur masyarakat, sedangkan kelurahan adalah unsur pemerintah, hal yang sama biasa terjadi untuk “memaksa” orang membayar PBB.

Apa kesimpulan dari sepenggal kasus ini ? Jelas bahwa ekonomi rakyat memerlukan perhatian, dukungan, dan kepercayaan dari pemerintah agar mampu berkembang sesuai dengan potensi yang dimiliki. Mungkin tidak selalu “uang” yang diperlukan, dan kalaupun harus dalam bentuk “uang” kebutuhan mereka jelas berbeda-beda. Hal ini yang penting mendapatkan perhatian. Untuk mengetahui kebutuhan yang berbeda dan beraneka ragam tersebut, mereka mutlak dilibatkan dalam setiap proses pengambilan keputusan. Selain menjamin kesesuaian “program” dengan “kebutuhan”, pelibatan masyarakat juga merupakan wujud dari pemberdayaan. Mereka diberi peluang, diberi akses untuk mampu memilih dan mengambil keputusan untuk dirinya sendiri. Secara formal pemerintah pusat telah memberi peluang melalui otonomi (UU 22/1999), tinggal bagaimana pemerintah daerah mewujudkan hal ini. Semoga.

Tidak ada komentar: