Jumat, 13 Maret 2009

"Banjir Jakarta"..suatu kewajiban kah?

Banjir DKI Jakarta dan sekitarnya mulai surut. Meski demikian, ancaman banjir masih akan terjadi. Selepas banjir, kerugian yang diderita warga Jakarta dan sekitarnya teramat besar.Hingga kini, rumah-rumah pengungsian masih ramai penghuni.Sebagian mereka, secara perlahan, mulai membersihkan rumah masing-masing.Bahkan, warga bergotong-royong memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan, hingga kebutuhan medis.Fakta ini menunjuk bahwa pemerintah kelabakan.Hal ini nampak dari penanganan dan pengelolaan bencana yang masih berciri reaksioner.Tiada sistem pengelolaan bencana yang telah disiapkan sedari awal. Padahal, banjir sering kali diklaim sebagai peristiwa tahunan (atau siklus lima tahunan).
Surutnya air mengisyaratkan episode
recovery.Episode ini mencakup upaya deteksi kerugian dan upaya pemulihannya.Sayangnya, kebijakan pemerintah pasca banjir masih bercokol pada pembangunan infrastruktur semata. Persoalan lain, seperti tumpukan sampah dan penyakit (leptospirosis, diare, demam berdarah) yang diderita warga pasca banjir, telantar tanpa perhatian yang baik.
Ketika penumpukan volume sampah pasca banjir meningkat, baik di pemukiman penduduk maupun di sepanjang jalan, pemerintah menginstruksikan seluruh potensi yang dimilikinya dan mengajak warga untuk melakukan kerja bakti.Tepatnya, pada Sabtu-Minggu (10-11/02). Lebih dari itu, TPA Bantar Gebang seluas 2,3 hektar telah dipersiapkan untuk menampung volume sampah pasca banjir. Tanpa koordinasi yang baik, pengelolaan sampah rentan konflik.Hal ini terjadi di kawasan hijau Jonggol.Sejauh ini, daerah ini tidak diperuntukkan untuk menampung sampah.Tetapi, oknum-oknum birokrat Pemprov DKI Jakarta secara sengaja menaruh sampah di kawasan itu.
Sejarah sampah DKI Jakarta berujar bahwa tidak kurang dari 6500 ton sampah/hari diproduksi oleh warga (perusahaan, rumah tangga, dll.) Jakarta. Tentu, hal ini bukan pekerjaan ringan.Meski demikian, tiadanya kesesuaian antara regulasi dan regulator, konflik seputar sampah masih akan terjadi. Tragedi TPST Bojong, Bogor (24 November 2003), adalah bukti.Tak cukup itu, longsornya sampah di TPA Bantar Gebang, Bekasi, juga menjadi potret buruknya pengelolaan sampah di DKI Jakarta.Anehnya, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak memiliki strategi pengelolaan sampah pra dan pasca-banjir serta penanganan medis yang terkoordinasi antar-lembaga (Bakornas, Satkorlak, dsb). Hal ini dapat dilihat dari review masterplan pengelolaan sampah DKI Jakarta hingga tahun 2015.
Dari bencana banjir DKI Jakarta (2007), setidaknya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dapat memulai upaya mengontrol dan mengelola sampah.Upaya awal dapat ditempuh melalui perampungan RUU Pengelolaan Sampah.Pasalnya, payung hukum ini dapat dijadikan sebagai pijakan kolektif (Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan warganya) untuk mengontrol dan mengelola sampah yang diproduksinya.Harapannya, penanganan tanggap darurat sebagai langkah emergency response maupun langkah recovery dapat segera direalisasikan guna meminimalisir buruknya sistem pengelolaan sampah yang sudah berlangsung.
Di samping itu, payung hukum (RUU Pengelolaan Sampah) ini dapat dijadikan sebagai wujud struktur kelembagaan yang bertanggung jawab terhadap tumpukan sampah dan sistem pengelolaannya.Tentu, tak sebatas sampah pasca banjir, melainkan sampah harian di luar musim penghujan.Di luar itu, payung hukum ini dapat mengatur keterlibatan warga (produsen maupun konsumen) dalam mengurus sampah Jakarta.Sejauh ini, hanya Dinas Kebersihan Pemprov DKI Jakarta yang bertugas.Sayangnya, kinerja mereka tak maksimal.
Sampah adalah persoalan warga DKI Jakarta, bukan permasalahan warga Bantar Gebang, Bekasi, dan Bojong, Bogor.Problem sampah adalah problem politik, hukum, dan budaya. Keseriusan pemerintah dalam menyelesaikan carut-marutnya penanganan sampah menjadi palang pintu bagi perubahan kultur warga, melalui penegakan aspek legal (UU Pengelolaan Sampah) secara tegas dan tak tebang pilih.
Momentum ini dapat dijadikan warga DKI Jakarta sebagai pertimbangan politik jelang pemilihan kepala daerahnya.Pembangunan adalah hal niscaya. Tanpa keikutsertaan pertimbangan (keberlanjutan dan keseimbangan) ekologis, pembangunan menjadi deret arus bencana ekologis babak berikutnya, yang tak jarang menelan korban jiwa. Ingat, mengelola sampah sama dengan mengelola gaya hidup kita!

Tidak ada komentar: